Prof Nelson Tansu,
Ph.D.Usia 25 Tahun Mengajar S-3. Dia asli orang Indonesia yang prestasinya diakui
dunia internasional. Pria kelahiran Medan 20 Oktober 1977, ini sudah meraih 11
penghargaan dan memiliki tiga hak paten atas penemuan risetnya. Pada usia 25
tahun ia telah berhasil meraih gelar PhD di University
of Wisconsin, Madison, dan kemudian langsung mengajar
mahasiswa S-3.
Dia menjadi profesor di universitas ternama Amerika, Lehigh University, Pensilvania 18015, USA., mengajar para mahasiswa di tingkat master (S-2), doktor (S-3), bahkan post doctoral Departemen Teknik Elektro dan Komputer. Nelson tercatat sebagai profesor termuda di universitas bergengsi wilayah East Coast, Negeri Paman Sam, itu. Sebagai dosen muda, para mahasiswa dan bimbingannya justru rata-rata sudah berumur.
Lebih dari 84 hasil riset maupun karya tulisnya dipublikasikan di berbagai konferensi dan jurnal ilmiah internasional. Sering diundang menjadi pembicara utama di berbagai seminar, konferensi dan pertemuan intelektual, terutama di Washington DC.
Selain itu, dia sering datang ke berbagai kota lain di AS dan luar AS seperti Kanada, sejumlah negara di Eropa, dan Asia. Yang mengagumkan, sudah ada tiga penemuan ilmiahnya yang dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers.
Di bidang itu, ia mengembangkan teknologi yang mencakup semiconductor lasers, quantum well dan quantum dot lasers, quantum intersubband lasers, InGaAsN quantum well dan quantum dots, type-II quantum well lasers, dan GaN/AlGaN/InGaN semiconductor nanostructure optoelectronic devices. Teknologi tersebut diterapkan dalam aplikasi di bidang optical communication, biochemical sensors, sistem deteksi untuk senjata, dan lainnya.
Karena namanya mirip dengan bekas Perdana Menteri Turki, Tansu Ciller, dan juga mirip nama Jepang, Tansu, maka pihak Turki dan Jepang banyak yang mencoba membajaknya untuk "pulang". Tapi dia selalu menjelaskan kalau dia adalah orang Indonesia . Hingga kini ia tetap memegang paspor hijau berlogo Garuda Pancasila dan tidak menjadi warga negara Amerika Serikat. Ia cinta Indonesia katanya. Tetapi, melihat atmosfir riset yang sangat mendukung di Amerika , ia menyatakan belum mau pulang dan bekerja di Indonesia . Bukan apa-apa, harus kita akui bahwa Indonesia terlalu kecil untuk ilmuwan sekaliber Prof. Nelson Tansu.
Ia juga menyatakan bahwa di Amerika, ilmuwan dan dosen adalah profesi yang sangat dihormati di masyarakat. Ia tidak melihat hal demikian di Indonesia . Ia menyatatakan bahwa penghargaan bagi ilmuwan dan dosen di Indonesia adalah rendah. Lihat saja penghasilan yang didapat dari kampus. Tidak cukup untuk membiayai keluarga si peneliti/dosen. Akibatnya, seorang dosen harus mengambil pekerjaan lain, sebagai konsultan di sektor swasta, mengajar di banyak perguruan tinggi, dan sebagainya. Dengan demikian, seorang dosen tidak punya waktu lagi untuk melakkukan riset dan membuat publikasi ilmiah. Bagaimana perguruan tinggi Indonesia bisa dikenal di luar negeri jika tidak pernah menghasilkan publikasi ilmiah secara internasional?
Prof. Tansu juga menjelaskan kalau di US atau Singapore , gaji seorang profesor adalah 18-30 kali lipat lebih dari gaji professor di Indonesia . Sementara, biaya hidup di Indonesia cuma lebih murah 3 kali saja. Maka itu, ia mengatakan adalah sangat wajar jika seorang profesor lebih memilih untuk tidak bekerja di Indonesia . Panggilan seorang profesor atau dosen adalah untuk meneliti dan membuat publikasi ilmiah, tapi bagaimana mungkin bisa ia lakukan jika ia sendiri sibuk "cari makan".
+ komentar + 2 komentar
Cari buat makan aza susah....gimana bisa semangat buat bikin pesawat..coba :)
Jadi wajar khan.....tks bud...ane dah mulai paham ngelola blogspot...ane lagi mulai bangun web lagi versi ane sendiri di http://misterywebdesign.blogspot.com
Baru 2 artikel yang diposting. Ente bantuin ane buat slider carrousel kayak mas kolis ye bud....^_^
Posting Komentar